P.M. Susbandono - kompasiana.com Relawan Layar kaca terlihat kelabu. Manusia, pepohonan dan alam tidak begitu nyata dipandang. Hanya suara reporter TV yang dapat jelas tertangkap indera pendengaran. Mereka sedang melaporkan keadaan di puncak Sinabung, saat sang gunung meluapkan amarahnya. Snapshot ini tayang akhir minggu lalu, ketika masyarakat Indonesia sedang menikmati libur panjang Imlek. “Gong Xi Fa Cai”, demikian kira-kira doa kesejahteraan yang dipanjatkan untuk para kerabat, saat berita itu disampaikan. Kesan hiruk-pikuk, panik dan terburu-buru tertangkap mata. Beberapa teriakan terdengar di sana-sini. Tiba-tiba, 5-6 dari mereka setengah berlari membawa kantong jenazah sambil mengisyaratkan agar semuanya dilakukan serba cepat. Korban tergesa-gesa dibawa masuk ke sebuah kendaraan, yang mengeluarkan bunyi sirene yang meraung-raung, dan lampu berkelap-kelip. Mereka menolong korban yang sudah meninggal, tapi, jangan salah, sang maut sewaktu-waktu bisa menyergap balik tanpa ampun. Semuanya tergesa-gesa. Semuanya darurat. Semuanya mahfum, gunung Sinabung sedang menyalak. Gunung Sinabung menumpahkan lahar panas dan dingin, awan panas dan dingin, gas beracun dan uap air. Sulit dibedakan mana kawan, mana lawan. Yang pasti para relawan, pekerja jurnalistik dan entah siapa lagi, sewaktu-waktu terancam. Setiap saat, tanpa ada yang tahu persis kapan itu akan merengutnya. Tapi mereka bergeming. Mereka terus melakukan tugasnya, mungkin tanpa tahu untuk kepentingan apa, bagi keuntungan siapa, dan bakal mendapat apa. Naluri kemanusiaan terus menuntun mereka, yang spontan melangkahkan kaki, mengayunkan tangan, menolong sesama, korban bencana. Kalau saja menjadi mereka dan punya sedikit waktu untuk berpikir untung-rugi, niscaya saya akan balik kanan dan duduk manis di beranda depan rumah saya. Awan panas, lahar panas dan gas beracun sangat perkasa. Dengan kecepatan 100 kilometer per jam, suhu mendekati 500 derajat Celsius, menyerang setiap rata-rata 6 jam secara berkala, mustahil dapat ditahan. Tak mungkin larinya seorang manusia mendahului mereka. Sia-sia kita melawan kedigdayaan mereka. Itu suatu isyarat bahwa kalau saja ada korban masih berada di ketinggian sana, niscaya sudah musna. Tak mungkin masih ada sisa kehidupan di atas sana. Mereka telah menjadi jasad kaku yang hampa. Lantas apakah masih ada guna para relawan berkeliaran di sana menyabung nyawa? Pada posisi demikian, neraca rugi-laba kemudian dibuang jauh-jauh. Dicampakkan, karena naluri kemanusiaan mengatakan sebaliknya. Relawan-relawan itu tetap di sana, menolong semampunya. Mengangkut tubuh yang tak bernyawa, sambil mengadu nasib untuk tetap selamat sampai di posko terdekat. Dalam kamus militer, apa yang mereka lakukan di Sinabung, disebut “Beyond the call of duty”. Mereka telah melakukan tugas lebih dari apa yang seharusnya mereka lakukan. Masih dalam kasanah militer, bila mereka harus gugur dalam situasi itu, maka kenaikan pangkat anumerta layak disandangnya. Penghormatan istimewa layak diberikan kepada mereka yang bahkan rela mengorbankan nyawanya untuk (menolong) sesama. Dalam salah satu kutipan sebuah ayat Kitab Suci, pemberian seperti ini disebut sebagai “pemberian suci dan bermakna”, dan manandakan ada kasih yang paling besar ada di sana. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang memberikan nyawa untuk sahabat-sahabatnya”. Aktivitas menolong atau memberi kepada sesama manusia merupakan naluri terdalam yang ada dalam diri setiap manusia. Tetapi, yang biasa terlihat adalah ketika orang baru memberi saat kelebihan atau kelimpahan mulai dirasakan. Bill Gates, pendiri Microsoft dan isterinya, Melinda Gates, membentuk yayasan sosial yang mempunyai dana endowment luarbiasa besarnya, USD 38.3 milyar. Teman Gates, Warren Buffet, CEO Berkshire Hathaway dan termasuk salah satu orang terkaya di Amerika, menyumbang untuk dana sosial sebesar tak kurang dari USD 40 milyar. Sementara Steve Jobs, tokoh Apple, diam-diam menyumbang USD 50 milyar untuk penelitian HIV dan AIDS di sebuah Rumah Sakit di California. Uniknya, Jobs tidak pernah mempublikasikan donasi tersebut sampai meninggalnya. Itu memang angka-angka yang menakjubkan bagi sebuah sumbangan. Tetapi, kegiatan karitas yang mereka lakukan, terjadi setelah ketiganya menjadi orang terkenal dan kaya di Amerika karena kesuksesannya berniaga. The Gates, Buffet, Jobs, saya dan kebanyakan dari kita, memberi dari kelebihannya, bahkan mungkin dari kelimpahannya. Berbeda dengan janda miskin yang hanya memasukkan dua peser mata uang ke peti persembahan. Dia memberi dari kekurangannya. Lantas apakah “memberi dari kelebihan atau kelimpahan”, kemudian disebut “pemberian sia-sia”?. Tentu saja tidak. Tetapi, pemberian yang tidak membuat sang pemberi merasa memberi, sulit untuk dikatakan sebagai pengorbanan kepada sesama. Setiap bulan, penghasilan bulanan dipotong dengan pajak yang kita anggap luar biasa besarnya. Persepuluhan atau per-duasetengah-an menghadang di pintu lain sebelah sana. Semuanya hanya bagian (kecil) dari apa yang kita terima. Itu pun sudah membuat kita merasa tak nyaman karena keikhlasan tak ada di sana. Bagaimana pemberian bersyarat seperti ini bisa bermakna? Pemberian bermakna, pemberian kepada sesama yang membuat sang pemberi merasa karenanya, sejatinya menjadi sarana terbaik untuk menemukan jati diri sebagai manusia. “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others”. Begitu Mahatma Gandhi merumuskan manfaat dari pemberian bermakna. “Memberi dengan makna”, sering menciptakan sesuatu yang menakjubkan bagi pemberi. Ia akan sampai pada hakekat kebaikan yang paripurna bila itu sampai pada milik kita yang paling berharga. Ia membuat sang pemberi merasa, bahkan kadang sampai menderita atau bahkan mengorbankan nyawa. “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Ali Imran 92)
KABITA Saya mengenalnya sebagai nama sebuah warung makan ayam goreng. Lokasinya di Pasar Simpang, Dago, Bandung Utara. Saya sering makan di sana, karena disamping gurih, harganya murah untuk ukuran mahasiswa kos-kosan, waktu itu. Sebelumnya, saya tidak tahu apa arti kata itu, sampai minggu lalu dijelaskan oleh seorang teman. Sebuah kata yang berasal dari bahasa Sunda. Sulit dicari padanannya dalam bahasa Jawa, Indonesia, atau Inggris. Kalau anda melihat sesuatu, atau seseorang yang hebat atau sangat menarik, lalu tergiur atau kesengsem atau kepingin banget untuk menirunya, memilikinya, atau mengikuti jejaknya, itu disebut kabita. Kabita berarti ngiri kepada sesuatu atau seseorang, dalam konotasi positif. Kabita bisa terjadi hanya karena melihat seseorang makan dengan lahapnya. Atau mendengar bahwa seorang teman memiliki sesuatu yang bagus. Atau menyaksikan kesuksesan seseorang yang sangat berarti bagi masyarakat atau bahkan bangsanya. Masih banyak kemungkinan rasa kabita muncul dalam diri kita, karena berbagai hal atau orang. Kali ini saya ingin berbagi kabita yang muncul dalam hati saya terhadap 2 orang tokoh yang menurut saya berhasil menoreh prestasi yang luarbiasa. Saya angkat topi terhadap track record yang diukirnya, lebih-lebih dalam situasi masyarakat yang tidak kondusif untuk mencetak kinerja. Dalam situasi yang serba kikuk, saat orang susah membuat breakthrough, mereka membuktikan bahwa bangsa kita masih menghasilkan prestasi yang “sesuatu banget”. Pertama, dia adalah Ignasius Jonan. Saat ini, Jonan adalah direktur utama PT KAI, instansi resmi yang ngurusi seluk-beluk angkutan umum, yang bernama kereta api. Jonan baru 4 tahun duduk di kursi panas itu, saat sebelumnya dikenal sebagai petinggi suatu bank asing di Indonesia. KA adalah suatu aset dan moda transportasi yang unik. Pertama ada di Indonesia, pada tanggal 17 Juni 1864, ditandai dengan pencangkulan perdana pembangunan rel di desa Kemijen. Karena aset yang sudah tua, sementara KA sangat bergantung pada kehadiran rel, maka terobosan yang efektif, tak mudah dilakukan. Tapi, Jonan membuktikan lain. Hanya dalam waktu 1 tahun, Jonan menyulap keuntungan PT KAI, yang tadinya rugi besar, menjadi positif. Tahun 2012, Jonan membukukan 400 miliar rupiah lebih sebagai keuntungan perusahaan yang dipimpinnya. Kuncinya, ia mengubah mind set timnya, yang semula berorientasi produk menjadi pelanggan. Dan seperti main sulap, Jonan mengubah segalanya menjadi oke dalam waktu relatif singkat. Pelayanan penumpang, daya angkut, tarif murah, ketepatan, keselamatan, keuntungan perusahaan, kesejahteraan pegawai, corporate image, dan masih banyak lagi Ternyata, Jonan tak kurang musuh. Saat dia mulai resik-resik, banyak korban yang marah dan berteriak menghujatnya. Mantan pejabat dan pegawai yang tersindir karena selama ini tidak performed, menggerutu karena terusik dan tidak nyaman. Jonan dituduh pencitraan, meski sulit membuktikan hal itu. Jonan bergeming. Dia kekeuh dengan mimpinya, sementara publik menyaksikan bukti yang dinikmati bersama.. Sejak puluhan tahun lalu, tak pernah kesan manis mampir di pundak alat transportasi ini. Kereta api identik dengan terlambat, jorok, kecelakaan, gaji (sangat) rendah bagi pegawainya, calo, copet, inefisiensi, rugi dan sederet atribut negatif lainnya. Bahkan baru sekitar 5 tahun lalu, kecelakaan di atas rel bukan suatu berita. Ini karena sudah terlalu biasa. Tapi tidak pada tahun-tahun ini. Masyarakat pengguna jasa KA tentu sepakat bahwa perkeretaapian Indonesia sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka memang sedang berbenah, dan itu terasakan. PT KAI langsung meroket dan sekaligus menyabet perusahaan milik negara terbaik dalam anugerah BUMN 2012. Jonan cuek memimpin 27.000 anggota timnya, dalam bekerja, berjuang, berkorban, belajar untuk kemajuan perkeretaapian dan bangsanya. Jonan tidak sedang membangun citra. Dia membangun kinerja. Jonan menjadi manusia aneh, ketika tiba-tiba nongol dan berkarya, di tengah-tengah kondisi masyarakat yang karut-marut. Tokoh kedua yang membuat saya kabita adalah Indra Syafri. Sebelum September 2013, Indra bukan siapa-siapa. Dia mantan pemain nasional yunior beberapa belas tahun silam, tapi namanya tidak mencorong. Hanya sebentar, kemudian malah menekuni profesi barunya sebagai pelatih. Itu juga masih biasa-biasa saja. Pria berkumis yang lahir di kampung Lubuk Nyiur, Sumatera Barat, tahun 1963 ini, tiba-tiba menjadi buah bibir, saat tim asuhannya merebut trofi juara pada turnamen kejuaraan remaja U-19, AFF, September lalu. Itu belum usai. Sebulan kemudian, Indra mengagetkan dunia sepakbola. Timnya lolos ke babak final Piala Asia U-19. Kali ini menjadi sangat istimewa, karena lawan yang ditundukkan adalah kampiun bola Asia, Korea Selatan. Orang mulai menoleh ke Indra Syafri. Indra menjadi magnet bila bicara mengenai sepakbola. Satu hal yang membuat Indra Syafri istimewa adalah visinya tentang tim yang dilatihnya. Sampai sesaat sebelum pertandingan melawan Korsel dimulai, publik masih mencemooh tim Indonesia. “Mana mungkin kita menang melawan Korsel?”. Saya rasa pandangan sebelah mata terhadap tim ini wajar saja. Tidak saja langganan kalah, dunia sepakbola di Indonesia dipenuhi dengan kekacauan yang merata. Pemain, pelatih, penonton, pengurus bahkan pemerintah tidak becus dan serius dalam sepakbola. Menang dengan Korsel adalah mustahil. Tetapi Indra membuktikan sebaliknya. Indra melontarkan perang urat syaraf, sekaligus memompa semangat timnya : “Kini saatnya, Indonesia menjadi macan sepakbola Asia”. Mimpinya menjadi kenyataan. Indonesia menundukkan Korsel 3-2. Kita benar-benar menjadi harimau Asia. Sangat sulit membayangkan, bagaimana Indra bisa menyulap anak-asuhnya menjadi juara, di tengah dunia sepakbola yang kacau balau dan masyarakat Indonesia yang galau di hampir semua lini. Tokoh seperti Jonan dan Indra mungkin biasa-biasa saja, bila hidup di negara sana. Tetapi, membuat terobosan prestasi yang luarbiasa, di tengah-tengah iklim masyarakat yang tidak biasa, adalah suatu catatan yang menumbuhkan asa. Mereka membuat dirinya pikabitaeun. Indra dan Jonan membuat orang kabita. Saya ngiri, bahkan jealous. Bagaimana mereka bisa berprestasi tinggi, bahkan mencuat unggul, saat lingkungan tidak mendukungnya. Tetapi, prestasi itu diakui. Kinerja terbukti nyata. Sulit dibantah bahwa mereka telah berhasil mempersembahkan kemenangan bagi bangsanya. “Words are words. Explanations are explanations. Promises are promises, but only performance is reality”. (Harold Sydney Geneen, businessman, the former ITT President). PM. Susbandono-kompasiana.com
Attitude Penelitian sederhana tentang lulusan 2 SMA swasta di Bandung, hasilnya mengejutkan banyak pihak. Sekolah pertama adalah suatu SMA di pagi hari. Yang kedua sekolah yang sama, tapi proses belajar-mengajar diadakan di sore hari. Gedungnya sama, guru-gurunya mirip, metoda pengajarannya serupa, kurikulumnya persis. Yang membedakan hanya satu. Lulusan SMP yang tidak diterima di sekolah pagi, “terpaksa” masuk sore. Itulah mengapa, murid sekolah pagi, dianggap lebih pintar dibanding sekolah sore. Sekolah pagi adalah elit, sekolah sore dianggap buangan. Uniknya, penelitian tadi menghasilkan anomali. Lulusan sekolah sore, kemudian, ternyata lebih sukses dibanding sekolah pagi. Sekian persen dari alumni sekolah sore bahkan menjadi pemilik perusahaan yang karyawan-karyawannya berasal dari lulusan sekolah pagi. Ada fakta yang kontradiktif. Anak pandai kalah sukses dibanding kawannya yang lebih dianggap lebih bodoh. Rasanya pernyataan itu acap kita dengar. Kepandaian di bangku sekolah tidak menjamin kesuksesan di dunia kerja. Banyak karyawan mengeluh kariernya mentog di suatu posisi, sementara teman seangkatannya sudah melejit menjadi pimpinan. “Anak mama” belum tentu menjadi orang-tua yang berhasil. Karyawan pintar tidak selalu lancar menjadi manager handal. Prajurit pemberani tidak otomatis diangkat komandan. Ada faktor tersembunyi yang menjadi penentu, mengapa seseorang sukses, sementara yang lain malah deadwood. Daniel Jay Goleman, psikolog ternama, mengatakan itu karena suatu variabel yang disebut “Emotional Quotient”, atau EQ. Beberapa orang menggunakan istilah “Emotional Intelegent”. Ahli Psikologi lain menyebutnya psychological capital. Mirip dengan Goleman, Keith Harrell, mantan pemain basket terkenal, yang kemudian menjadi pembicara “pembangkit motivasi”, menulis bahwa faktor itu adalah “attitude”. “Sikap” membedakan jalan hidup seseorang. Bahkan secara ekstrem Keith Harrell, dalam bukunya “Attitude is Everything” (2005), menulis “Change your attitude and you can change your life”. Konsep yang diajukan sangat sederhana. Sikap seseorang mempengaruhi hidupnya. Mereka yang memiliki sikap positif, mendeposit kesuksesan yang siap panen, di masa depan. Sukses tidaknya seseorang sangat dipengaruhi sikap yang ada dalam dirinya. Sukses tidak hanya dalam sisi materi, pangkat, status sosial dan sejenisnya, tetapi juga “sukses” dalam kaitan hidup yang lebih bermakna. Singkatnya, mereka memetik meaningful success. Memang, attitude bukan faktor tunggal. Sikap “baik” sekali pun bila sendirian di sana, mungkin tidak banyak bisa diharapkan. Ada 2 variabel lain yang ikut dalam pembangunan sukses seseorang. Mereka adalah Knowledge dan Skill. Pengetahuan, ketrampilan dan sikap, sering digabung menjadi paket prasyarat seseorang untuk sukses. Biasa disingkat KSA. Ada hitung-hitungan magic yang membuktikan bahwa diantara ketiga variabel tadi, attitude merupakan hal yang paling penting. Kalau anda menandai urutan abjad, dari A sampai Z, dengan angka 1 sampai 26, maka ketiga kata tadi, masing-masing akan mempunyai jumlah angka. Knowledge berjumlah 96, Skill sama dengan 63, sementara attitude memiliki nilai 100. “Terbukti”, sikap menduduki urutan pertama diantara ketiganya. Sekaligus menunjukkan bahwa sikap perlu menjadi perhatian pertama dan utama sebelum pengetahuan dan ketrampilan ditingkatkan. Saya punya teman lulus S2 dari sebuah universitas ternama dengan indeks prestasi tinggi, tapi hidupnya terseok-seok. Sudah belasan perusahaan dari berbagai bidang pekerjaan dicobanya, selalu berujung kegagalan. Berantem dengan atasannya, dijauhi teman-teman kerjanya, gagal mencapai target, susah naik pangkat, melanggar peraturan dan sejumlah “malapetaka” lainnya yang menjadi litani, mengapa dia harus keluar-masuk perusahaan karena 1001 alasan. Dia pintar, banyak inisiatif, penuh ide, tetapi minus sikap-positif dalam dirinya. Hasilnya tak pantas dibanggakan. Kehidupan keluarga para artis, baik di Hollywood, Bollywood atau hanya Jakarta sering diwarnai dengan drama kawin-cerai. Nampaknya, profesi tertentu melahirkan attitude yang seragam dan manifestasinya mirip juga. Ia adalah perpecahan suami dan isteri. Pertanyaannya adalah sikap apa yang bisa mengubah jalan hidup? Dan bagaimana membentuknya?. Untuk menjawab pertanyaan itu, Harrell memperkenalkan istilah positive attitudes. Ada banyak contoh sikap-positif yang dikenalkannya, diantaranya adalah sabar, percaya-diri, optimis, gigih, ramah, terbuka, pemaaf, jujur, pembelajar dan toleran. Masih banyak sikap lain yang dianjurkan untuk dibangun, agar kita menjadi semakin positif. Paradigma ini sekaligus menghapus banyak pendapat mengenai adanya faktor X diluar knowledge dan skill. Ia sering disebut, nasib, keberuntungan, bejo atau garis tangan. Nasib baik memang ada, tetapi ia keluar sangat jarang. Keberuntungan bagaikan mukjizat yang tak bisa ditunggu hadir setiap saat. Mereka yang sering disebut bejo, sebetulnya lebih banyak karena mempunyai sikap-positif yang dominan dalam dirinya. Nasib-baik tidak membawa orang menjadi sukses. Attitude yang menggiringnya ke sana. Oleh karenanya, jangan menunggu atau, apalagi, menggantungkan keberuntungan untuk sukses. Ubah sikap menjadi lebih positif. Tentunya itu jauh lebih dapat diandalkan daripada mengangan-angan nasib-baik menghampiri kita untuk menuju ke gerbang kesuksesan. Hal pertama yang paling penting untuk membangun sikap-positif adalah pemahaman diri bahwa attitude mempunyai kekuatan dahsyat untuk mengubah jalan hidup manusia. Yakinkan diri anda sendiri bahwa dengan menggenggam positive attitude semuanya akan berjalan lancar dengan sendirinya. Selanjutnya, bertahap kita dapat menggeser sikap-sikap negatif yang kita miliki ke arah yang lebih positif. Harus terus dijaga agar upaya pembentukan positive attitudes bisa terus berlangsung. Sangat dapat dimengerti bila Zig Ziglar (1926-2012), penulis dan pembicara motivasi terkenal dari Amerika, pernah mengatakan bahwa sikap positiflah yang membawa anda menuju ke puncak kesuksesan, dan bukan hal-hal gaib lainnya. “Your attitude, not your aptitude, will determine your altitude”. PM. SUSBANDONO - kompasiana.com KOMITMEN Pada Misa Perayaan Ulang Tahun ke 38 Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) di Gereja Santa Anna, Klender, Jakarta,(13/9/2012) Bapa Uskup-Mgr. Ignatius Suharyo dalam kotbahnya memberikan renungan kecil tentang “komitmen”. Suatu hari ada seseorang yang mempunyai gagasan yang luar biasa. Ia seorang tokoh masyarakat yang ingin membantu mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah minyak yang semakin mahal dan langka. Ia ingin mengubah air menjadi minyak. Tiap hari ia bekerja siang-malam di laboratoriumnya untuk mencampur bahan-bahan kimia, mencoba ini dan itu. Tak kenal lelah. Ia tidak bekerja sendirian. Ia punya tim yang membantunya. Ia mengorganisir timnya sedemikian rupa sehingga mereka bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita mereka. Mereka bekerja bertahun-tahun. Akhirnya percobaan hampir sempurna, hanya kurang sedikit saja. Ada satu unsur lagi yang harus dicari. Mereka mencari informasi kesana- kemari dan suatu hari Sang Pemimpin mendapat informasi bahwa ada ‘orang pintar’ di puncak gunung, yang dapat membantu setiap persoalan manusia. Untuk menemui ‘orang pintar’ tersebut harus mendaki gunung sendiri. Betapa beratnya perjalanannya karena gunung itu sangat terjal. Jalan setapak satu-satunya harus naik turun bukit, menyusuri sungai, menyeberangi titian sempit, dsb…..Pendeknya sangatlah berat untuk sampai ke sana. Saat sampai di sana pun tidak langsung dapat bertemu orang tersebut; harus mendaftar dulu, antri, dan menunggu saatnya ‘orang pintar’ itu punya waktu luang. Sang tokoh masyarakat tadi, saking inginnya dapat mengubah air menjadi minyak, ia tidak mempedulikan perjalanan yang maha berat tersebut. Ia lupakan semua penderitaannya ketika ia sudah di depan pintu istana ‘orang pintar’ itu. Dan akhirnya ia masuk dengan perasaan berdebar-debar. Oleh para pengawal ia disuruh menunggu sebentar. Ia duduk di bangku yang disediakan. Sebentar kemudian yang disebut ‘orang pintar’ tersebut keluar. Ia terperangah, bengong melihatnya. Ternyata ia seorang putri nan cantik jelita. “Ck ck ck ck ck ………Waaaaoooww”, gumamnya dalam hati sambil tak berkedip melihatnya jalan pelan-pelan ke arahnya. “Anda hanya punya satu pertanyaan, silahkan ….. apa yang menjadi keinginan anda?” Sang Puteri bertanya dengan senyum yang lembut sekali. Karena gelagapan, ia hanya bertanya,”Apakah Sang Puteri sudah menikah?” ………?!@#$%****?!........ Komitmen memang dapat terlupakan atau luntur hanya karena sesuatu yang sepele. Komitmen mudah diucapkan tapi sulit dipertahankan dan dilaksanakan. Setiap organisasi mempunyai visi-misi, struktur organisasi, uraian pekerjaan, tugas pokok dan fungsi masing-masing organ, hak dan kewajiban, dsb. Dan mereka pasti berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita yang tertuang dalam visi dan misi. Namun kenyataannya komitmen sering melemah karena kurangnya integritas para pemangku kepentingan atau kurangnya pemahaman tentang visi dan misi organisasi. Akankah kita, sebagai organisasi yang bergerak di bidang jasa pelayanan pendidikan, selalu berpegang pada komitmen? September 2012, Y. Eddy Subiyanto
Petruk Dadi Ratu Sudah sangat lama saya tidak nonton pertunjukan wayang-orang. Beberapa kali hanya melihat di layar kaca, adegan wayang-kulit - yang bagi saya - tidak begitu menarik dibanding atraksi wayang-orang. Sekian puluh tahun lalu, ketika masih anak-anak sampai remaja, saya sering nonton “Ngesti Pandowo” di gedung GRIS, jalan Bojong, Semarang. Konon, grup wayang-orang ini adalah kelompok drama tradisional tertua di Jawa-Tengah, atau bahkan mungkin di Indonesia. Saya tidak tahu, apakah “Ngesti Pandowo”, yang secara harafiah berarti “meneladani nilai-nilai kebajikan”, saat ini masih ada, atau tidak. Apakah mereka masih tampil setiap malam, dengan penonton yang membludak, seperti ketika itu saya harus jinjit, karena tidak kebagian tempat duduk. Saya tiba-tiba merasa cemas, jangan-jangan tonggak budaya nasional, seperti “Ngesti Pandowo”, atau “Sriwedari”, hanya tinggal monumen legenda, yang menjadi nostalgia generasi dahulu-kala saja. Ada satu lakon yang pernah saya tonton di “Ngesti Pandowo”, dan sampai sekarang masih saya ingat. Judulnya “Petruk Dadi Ratu” (Petruk Menjadi Raja). Ini adalah sebuah lakon carangan episode Mahabarata. Lakon kembangan atau improvisasi, yang tidak ada di pakem buku aslinya. Cerita yang entah siapa pengarangnya, kapan ditulis dan bagaimana sampai ia menjadi tenar dalam dunia pewayangan di Jawa. Meskipun carangan, lakon ini penuh dengan pesan yang filosofis plus sindiran kritis yang anehnya masih relevan sampai saat ini. Mungkin, karena kental dengan kultur Jawa, substansinya gampang dimengerti dan dihayati penonton. Alkisah, Negara Amartapura sedang porak-poranda. Kekisruhan terjadi dimana-mana. Kejahatan bersimaharajalela, meluas sampai ke pelosok-pelosok desa. Angka kriminalitas tinggi, perkelahian sering terjadi dan masyarakat resah. KKN menjadi hal yang biasa. Dikerjakan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Orang-orang terhormat malah menjadi contoh, bagaimana kekayaan negara menjadi milik keluarga atau empunya saya. Penguasa tidak ingat nasib rakyatnya, masing-masing membangun citra dengan menumpuk harta, kuasa dan tahta, yang ternyata hampa belaka. Rakyat terus diperdaya sehingga para Dewa kehabisan akal bagaimana mengatasinya. Sampai pada akhirnya, mereka minta tolong Petruk, salah satu dari punawakan, seorang hamba kawula, bersahaja, wong alit, untuk membereskan keadaan yang karut-marut ini. Petruk bersama bapaknya Semar dan kedua saudaranya, Gareng dan Bagong, sebetulnya juga tokoh carangan. Keberadaannya tidak tercatat di buku Mahabarata versi aslinya. Untuk mengatasi ontran-ontran yang terjadi di Amarta, Petruk diberi kesaktian yang luar biasa oleh Batara Guru, dan diberi gelar Ratu Tongtongsot Belgeduwelbeh. Dia disamarkan wajahnya, menjadi raja baru, penguasa dadakan, berotoritas mutlak membereskan Amartapura yang porak-poranda. Dia “mencuri” jimat kalimasada, ajian para Pandawa, untuk membasmi kejahatan yang sedang berlangsung di sana. Raja, para pejabat, seluruh keluarga dan staf istana harus ditumpas dengan kesaktiannya. Bila saja pada waktu itu sudah ada anggota DPR, pengacara, hamba wet atau politikus, pasti mereka akan dihancurkan oleh sang Raja Tongtongsot. Petruk mengamuk seperti Banteng ketaton (terluka) melawan keangkara-murkaan. Meskipun konon masih titisan dewa, Petruk sehari-hari berperan sebagai seorang abdi biasa, rakyat kecil, punakawan, yang melayani keluarga Pandawa. Tidak hanya itu, dia juga menjaga tuan-tuannya, bahkan juga berfungsi sebagai penasehat kehidupan. Tak kentara bahwa para punakawan sebetulnya juga seorang “ulama”. Pihak yang selalu meluruskan jalan hidup bendara-nya yang melenceng. Itulah memang tugas kaum jelata. Tetapi, kesabaran ada batasnya. Suatu saat, ketika titik ambang itu sudah dilanggar, maka suara kawula berubah menjadi sabda Dewa. Meskipun diwarnai dengan perilaku over acting disana-sini, dengan kesaktiannya Petruk akhirnya berhasil “membereskan” Amartapura. Raja sesungguhnya dan para hulubalang, akhirnya sadar bahwa mereka telah melanggar tugas yang diembannya. Akhir cerita, negara Amarta kembali seperti semula, aman, tertib, damai dan sejahtera. Semuanya berkat Petruk, sang kawula, yang menjadi duta Dewa. Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari lakon ini. Salah satunya adalah bahwa kekuasaan yang sedang diemban merupakan titipan Tuhan, untuk kemaslahatan umat. Ia harus dijaga mati-matian, karena sifatnya yang sakral. Ketika penguasa menyalah-gunakan amanah itu, maka “kutukan” sang empunya kekuasaan akan segera jatuh. Kekuasaan tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga mengandung nilai transendental, nilai surgawi, yang sering tidak dapat dijelaskan, kapan datang dan pergi. Ia selalu menjadi misteri yang sering mempunyai banyak sekali dimensi dan arti. Pesannya adalah bahwa sekecil atau serendah apapun power yang sedang anda genggam, sebagai apapun anda sedang duduk dalam kursi kekuasaan, maka istiqomahlah untuk menjaganya. Secara umum, kekuasaan memang menggiurkan. Ia memabokkan, gampang membuat orang lupa, apabila orang sedang menggenggamnya. Orang bijak akan merasa berat dan was-was apabila sedang memegang kekuasaan. Bukan malah senang bila didapuk untuk menjabatnya. Ia sebuah tanggung jawab yang berat, bila dilihat dari sisi amanah yang menjadi kewajibannya. Secara ekstrem, seorang sejarahwan, politisi dan penulis terkenal dari Inggris, Lord Acton (1834-1902) begitu sinis melihat sebuah kekuasaan. Dia mempunyai adegium terkenal yang sering dikutip orang, “Power tends corrupt, absolute power corupt absolutely. Great men are almost always bad men”. Lord Acton mungkin berlebihan. Dia bahkan meng-gebyah-uyah bahwa orang yang sedang memegang kekuasaan selalu jelek. Mungkin, pernyataan Lord Acton terpengaruh dengan kebrengsekan tokoh dunia seperti Hitler, Stalin atau Musolini, yang kebetulan menyengsarakan dunia. Tetapi, pesan yang bisa dipetik dari kutipan Acton adalah bahwa secara alami, naluri berkuasa mendorong orang - sengaja atau tidak - untuk corrupt. Kekuasaan gampang menggelincirkan orang untuk otoriter. Kekuasaan selalu menggoda orang untuk melakukan abuse. Dan (sangat) sulit untuk menjaga orang bisa memegang kekuasaan dengan amanah, apabila dia sedikit saja tidak hati-hati. “Kekuasaan” disini bisa juga berarti “kekayaan”, “kepintaran”, “ketenaran, “ketampanan” atau “kecantikan”. Seorang bijak dari dunia timur, Lobsang Jampel Jhampa Gyatso (80), atau lebih akrab dipanggil Dagpo Rinpoche (sebutan untuk seorang Guru, Yang Mulia, dalam tradisi Budha) menunjuk penyebab mengapa kekuasaan sering terjebak dalam kebrengsekan. Dia mengatakan bahwa kekuasaan menjadi ancaman karena selalu diiringi dengan keserakahan. “Masalah terbesar saat ini adalah keserakahan. Banyak orang mengumbar keinginan, terlalu egoistis, hanya memikirkan diri sendiri, kelompok sendiri, bangsa sendiri”. (Kompas, Rabu, 11 Januari 2012, hal 16). Lebih jauh Rinpoche mengatakan bahwa : “Keserakahan menyebabkan upaya mempertahankannya dengan cara apa pun. Padahal, satu-satunya jalan bagi mereka yang berada di puncak adalah turun. Kekuasaan tidak abadi”. Baik Lord Acton maupun Dagpo Rinpoche nampaknya sejalan dengan Mahatma Gandhi (1869-1948), bapak bangsa dan pejuang kemanusiaan dari India. Alam adalah sumber tak terbatas, tetapi tidak mungkin mempertahankan keberadaannya, apabila ada 1 orang saja yang hidup di dalamnya berperilaku serakah. “Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not one man's greed.” PM. SUSBANDONO kompasiana.com
|